Sabtu, 15 Agustus 2015

KESAKSIAN W.S RENDRA DALAM SIDANG KONSTITUSI


Kesaksian W.S Rendra 28,April,2009


Konteks Rokok Dalam kebudayaan Indonesia



Assalamualaikum wr. wb. Dan juga salam sejahtera untuk semuanya.Hormat saya untuk Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi dan parahakim-hakim dari Mahkamah Konstitusi yang bersidang hari ini.
Tembakau itu sesuatu tanaman asing. Yang dipaksakan ditanam di Indonesia untuk pembentukan bagi modal kekuatan merkantilisme dan industri negeri Belanda yang waktu itu menjajah Indonesia. Sebagai penjajah, Generasi ini akan menjadikan Indonesia sebagai perkebunan raya yang menghasilkan hasil agraria yang nanti akhirnya menjadi modal bagi pembentukan industri dan kekuatan merkantilisme di Ibu Negeri jajahan. Orang Indonesia menanam tanaman-tanaman seperti kopi, lalu termasuk tembakau dan lain sebagainya tanpa dia bisa mengekspornya sebagai tanaman yang sangat menguntungkan perdagangan luar negeri.

Bayangkan saja para petani tembakau, getah, gula dan lain sebagainya tidak bisa mengekspornya, harus disetor kepada penjajah dan merekalah yang akan mengekspornya. Kita menanam tembakau dan kopi, tetapi yang menentukan harga dan penggunaan produk itu adalah Bremen dan Antwerpen (berlangsung sampai sekarang). Jadi sebetulnya tertekan sekali keadaan para penanam tembakau itu, dari dahulu sampai sekarang. Akan tetapi kreativitas dari para leluhur dan para penduduk Indonesia luar biasa. Tembakau dicampur dengan klembak, tembakau dicampur dengan cengkeh, menjadi rokok klembak, menjadi rokok cengkeh dan ini suatu kreativitas yang luar biasa.


Dari segi kebudayaan harganya sangat tinggi kreativitas semacam ini. Ini menunjukkan daya adaptasi bangsa Indonesia yang ternyata bangsa yang tidak asli, bahasanya tidak asli, tanaman tidak asli, mulai dari padi sampai irigasi, mentok, itik, semua tidak asli, sapi tidak asli, tetapi toh bisa diadaptasi dengan kreatif. Singkong tidak asli, tetapi lihat saja, singkong bisa jadi lemet, jadi macam-macam. Itu harus ada tempat untuk diperkembangkan dan dihargai daya adaptasi bangsa. Bahasanya tidak asli roh, batin, sukma, raga, nama-nama Soekarno, Soeharto, Muhammad Yamin, semua tidak asli, Rendra tidak asli, tetapi toh bisa melahirkan kepribadian yang asli. Ini aspek budaya yang harus dihargai dan diperkembangkan.
Rokok kretek. Rokok kretek itu sekarang dalam masa krismon bisa bertahan dengan baik karena cengkehnya dari dalam negeri, kertasnya dalam negeri, tembakau dalam negeri, saosnya dalam negeri, lalu konsumennya yang terbesar dalam negeri, sehingga akhirnya menjadi suatu kekuatan ekonomi yang baik. Tentu saja sebagai seniman dan budayawan saya sangat menghargai, sangat mempertimbangkan sekali proses pembangunan. Maka saya menganggap bahwa survival dari rokok kretek ini membantu kekuatan pembangunan Indonesia.


Bayangkanlah sejak dari zaman Hindia Belanda sampai sekarang kita hidup dalam tatanan pembangunan, tatanan pemerintahan, tatanan hukum, yang berasal dari Hindia Belanda, tidak mandiri.
Bukannya tidak punya ahli hukum, ahli tata negara atau ahli ekonomi, tetapi nyatanya masih terbelenggu dengan tatanan penjajahan.
Hukum yang kita miliki tidak bisa membela Pancasila, padahal Pancasila sangat penting. Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, sekarang sudah ada hukum-hukumnya. Tetapi pelanggaran terhadap kedaulatan rakyat, pelanggaran terhadap keadilan sosial, kalau dilanggar tidak ada hukumnya.
Nah, dalam ekonomi kita tidak pernah membangun industri hulu, tidak pernah membangun modal dalam negeri, infrastrukturnya saja tidak ada.
Karena apa? Karena kita terikat pada hukum penjajah Ordonansi Pajak 1925. Industri dibangun dengan tidak membangun industri hulu, dengan tidak membangun modal dalam negeri, karena modal didatangkan dari Ibu Negeri, dari Belanda, alat produksi dari Hindia Belanda, bahan baku didatangkan dari Hindia Belanda, padahal bahan mentahnya diisap dari Indonesia. Itu berlangsung sampai sekarang. Ordonansi Pajak 1925 cuma diubah namanya menjadi Undang-Undang Penanaman Modal Asing.
ya hal ini tentu saja akan dipelihara oleh kekuatan-kekuatan kapitalisme liberal yang pada dasarnya inti penjajahan yang menguasai kita. Sekarang ada kesempatan bahwa ternyata kita memiliki industri rokok cengkeh yang tidak gampang terserang krismon karena kemandiriannya dalam bahan baku, di dalam proses berproduksi, dan di dalam konsumen.
Ini harus kita dukung, secara budaya harus kita dukung, inilah kesempatan kita mandiri, tentu saja ini tidak mengenakkan. Pengertian hegemoni global dari dunia kapitalisme liberal barangkali juga kapitalisme komunis, kapitalisme partai juga lama-lama tidak akan mengizinkan.
Dunia dikuasai oleh dua macam kapitalisme sekarang ini, kapitalisme liberal dan kapitalisme komunis, kapitalisme partai yang tidak ramah pada alam, pada lingkungan, tidak ramah pada buruh, tidak ramah pada desa, tidak ramah pada agraria dan berorientasi pada kekuatan pasar, dominasi pasar.
Dalam pergulatan, perspektif pergulatan kekuasaan ekonomi global semacam ini yang satu menganjurkan globalisasi yang lain menganjurkan revolusi internasional.
Globalisasi di mana saja kapan saja sepanjang sejarah umat manusia selalu bersifat imperialistik dan menekan hak asasi manusia, menekan keadilan sosial. Jadi sekarang seandainya pemerintah itu bijaksana dan waspada, seandainya pemerintah memang mempunyai industrial tree tidak hanya sekadar pembangunan yang tanpa arah.
Mereka bisa manfaatkan sekarang industri yang bisa berdiri di kaki sendiri ini, ini dibesarkan, dilindungi termasuk caranya beriklan segala macam dilindungi. Lalu kemudian mereka sebetulnya bisa diberi kesempatan menjadi captain of industry, menjadi pintu untuk berdirinya kekuatan nasional, pintu untuk pembentukan modal nasional, modal dalam negeri, supaya mereka akhirnya bisa membantu juga membantu industri hulu, supaya ekspansi dari usaha mereka tidak hanya furniture, tidak hanya real estate seperti mana ditekan-tekan waktu Orde Baru karena industri-industri kunci dikuasai oleh beberapa cukong saja dan diawasi oleh kekuatan luar negeri.
Tapi sekarang kalau datang masanya kita akan membereskan diri, kita harus mencari kekuatan ekonomi apa yang bisa memelopori pembentukan industri modal dalam negeri dan lalu membentuk industri hulu. Krakatau Steel misalnya, kenapa tidak dibangun oleh kekuatankekuatan yang mampu membentuk modal dalam negeri. Krakatau Steel tidak bisa mengolah steel apa itu? Hanya bisa..?
Tidak bisa mengolah pasir besi. Apa itu? Lambang-lambang penjajahan saja, tipu-tipu dari kaum penjajah saja.
Nah, kalau akhirnya ini ada kekuatan bisa membentuk modal dalam negeri, bisakah kau sekarang bikin industri hulu? Bisakah Krakatau Steel diperbaiki, listrik diperbaiki, bendungan-bendungan diperbaiki, airport, alat dan sarana-sarana komunikasi semua diserahkan kepada perusahaan-perusahaan semacam ini, itu kan menguntungkan sekali. Oleh karena itu, dari segi etika dan dari segi hukum yang bebas dari aspirasi penjajah kita harus menaruh perhatian kepada faktor ini dan akhirnya kalau alasannya kesehatan dan lain sebagainya tidak fair.
Junk food merajalela tapi karena itu ulah dari kekuatan asing ya dilindungi, tapi kekuatan-kekuatan dalam negeri di mana saja akan ditekan demi hegemoni utara, hegemoni kekuatan pembangunan, kapitalisme liberal, ataupun kapitalisme partai.
Saya kira kita sebagai bangsa harus melawan kekuatan itu dan harus dengan rajin dan dengan setia, dengan semangat patriotik membela kesempatan-kesempatan bangsa kita untuk bangkit terutama di bidang ekonomi pembangunan. Wassalamualaikum wr. wb.

di kutip dari youtube

Klik di sini

Selasa, 04 Agustus 2015

MENCARI IDENTITAS NASIONAL DALAM MUSIK:LEBAY ATAW GOKIL?

Tulisan ini saya sengaja copas dari fanspage milik budayawan dan pengamat musik yapi abdel tambayong ataw yang lebih di kenal dengan remy sylado beliau adalah penulis yang sangat produktif lahir tahun 1945 dari sulawesi selatan besar di semarang dan tinggal di bandung berikut tulisan beliau yang saya copas itu


MENCARI IDENTITAS NASIONAL DALAM MUSIK: LEBAY ATAU GOKIL?
Remy Sylado
[Makalah ini disampaikan dalam Lokakarya “Menata Industri Kreatif dan Media Demi Kemajuan Martabat Bangsa” yang diselenggarakan pada Rabu, 5 Agustus 2015, di Auditorium Mafthuchah Yusuf, Gedung Raden Dewi Sartika, Kampus A, UNJ.]
1. Sebaiknya kita jangan lagi menajamkan entri kebudayaan dengan cara yang tidak cendekia seperti zaman lampau: zaman yang konon disebut Orde Lama, tentang kerewelan mencari identitas nasional dalam musik, seraya mengingat nama-nama komponis palu-arti seperti Subronto K. Atmojo dan Sudharnoto, yang notabene dikenal dalam sejarah pembentukan “kebudayaan nasional” dengan slogan-slogan kebangsaan yang membingungkan.
2. Sebelum kita melangkah lebih jauh perkara wacana yang disebut di atas ini, ada baiknya kita menyimak sekilas dengan apresiasi semadyanya terhadap kedua nama komponis komunis tersebut. Yang pertama, Subronto K. Atmojo, pencipta mars “Nasakom Bersatu”, berlatar sekolah musik Hans Eisler di Jerman, dan lulus dengan cum laude. Sepulang dari Jerman, ia ditangkap tentara, lantas dipenjarakan bersama dengan orang-orang PKI lain di Pulau Buru, dan setelah bebas ia memilih jadi Kristen, diberi pekerjaan mencipta lagu-lagu liturgi oleh Alfred Simanjuntak. Yang kedua, Sudharnoto, pencipta mars “Garuda Pancasila”, berlatar fakultas kedokteran, yang juga dipenjarakan oleh tentara karena keanggotaannya di lembaga kebudayaan PKI, Lekra. Setelah bebas, ia bekerja serabutan, mulai dari tukang es sampai sopir taksi, sampai akhirnya mendapat kesempatan dari sutradara film lulusan sekolah sinema di Moskow, Sjuman Djaja, untuk membuat skor musik dalam filmnya “Kartini” yang dibintangi Yenny Rahman.
3. Maksud saya untuk tidak mencari-cari bingkai nasionalisme dalam karya musik, sebab jika wacananya tidak disertai dengan pengetahuan ilmiah yang betul menyangkut sejarah dan filsafat keindahan serta kaitannya dengan ilmu yang pasti, kecuali sekadar cengkunek politik yang menyempitkan ruang nalar, maka hasilnya akan menjadi sebatas apologia yang lebay. Duduk masalahnya, adalah sebab awam pun paham, berdasarkan hafalan-hafalan yang populer bahwa satu-satunya bahasa yang paling universal, yang artinya secara alami dapat menembusi sekat-sekat kebangsaan dan kenegaraan serta kebahasaannya, adalah hanya musik.
4. Sungguhpun begitu, tak boleh juga kita berpikir tanpa prasangka terhadap kata “universal” yang demikian kerap diwacanakan oleh pihak Barat terhadap pelbagai ladang kesenian pasca-Renaissance dan Aufklärung di antero kontinen. Maksudnya, dalam kenyataannya sering pihak Barat bersikap tidak adil dan tidak membuka diri terhadap Timur. Tapi juga karena dasarnya adalah kealpaan Timur sendiri yang biasa tidak menyertai uraian-uraian yang cendekia menyangkut eksposisi, analisis, dan apresisi yang kritis terhadap karya-karya keseniannya, sehingga dengan gampang Barat menganggap kesenian-kesenian Timur itu berkelas tribal, lokal, etnikal, dan jauh dari bingkai universal tersebut.
5. Sementara, kerepotan mencari identitas nasional yang jelimet dalam kebudayaan Indonesia, khususnya musiknya, dibebani dengan jargon-jargon anti Barat, bertolak dari pidato Bung Karno pada l7 Agustus l959 berjudul “Manifesto Politik”, atau lebih populer singkatannya “Manipol”, yang setahun kemudian, 1960, disahkan oleh DPA sebagai GBHN. Dalam pidato ini, Bung Karno menyatakan kegeramannya terhadap musik-musik hiburan Amerika, antara rock ‘n’ roll, boogie woogie, cha cha cha, calypso: dan kemudian disimpai menjadi pop, yaitu istilah dari dunia senirupa Amerika, ‘pop art’, yang digerakkan oleh pelukis-pelukis Andy Warhol, Roy Lichtenstein, Tom Wesselmann, sebagai reaksi terhadap ‘op art’ dan seni-seni pra dan pasca PD I sampai PD II mulai dari Dadaisme sampai Cobra. Musik pop itu disebut oleh Bung Karno sebagai ‘ngak-ngik-ngok’, karena katanya musik-musik Amerika itu selain tidak laras dengan kepribadian bangsa, juga melemahkan semangat revolusioner pemuda untuk mengganyang nekolim – singkatan yang dibuat Sang Bung untuk frasa Neo Kolonialisme-Imperialisme – dengan biangkerok Amerika dan Inggris.
6. Adalah pihak lembaga kebudayaan komunis, Lekra, yang biasanya paling bersemangat melaksanakan agitprop komunisme itu, sertamerta keranjingan mendukung “Manipol”, lengkap dengan jargon-jargon kebencian terhadap Barat, yaitu antaralain “Inggris-Amerika musuh nomer satu revolusi”, serta hasutan yang sudah dipakai oleh tentara Jepang di masa pendudukannya di sini pada PD II, “Amerika kita setrika Inggris kita linggis”. Sampai dengan l965, tahun yang dicatat sebagai – dalam istilah Orde Baru – penghianatan PKI, ternyata masih belum ada karya musik yang benar-benar memenuhi syarat dibya di bawah konteks kebangsaan di satu pihak dan nilai universal di lain pihak, kecuali lagu yang populer di kalangan palu-arit, yaitu “Genjer-genjer”, konon sanepan untuk mengarahkan Angkatan Kelima, buruh & tani, “ganyang jendral-jendral”: Jendral Ahmad Yani, Letjen R. Suprapto, Letjen Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen D. I. Panjaitan, Mayjen Sutoyo S.
7. Sebelum 1965 itu peta politik kebudayaan di Indonesia – dengan melihat keadaan di Jawa Tengah di mana saya berada -- memang ditandai dengan ingatan akan ketegangan-ketegangan dan saling curiga di tengah masyarakat yang tak jarang berujung dengan saling bunuh, dan itu tidak berarti berakhir di situ. PKI benar-benar dapatangin, karena diberi peluang besar oleh Bung Karno, apalagi setelah organisasi insan pers, PWI, diketuai oleh pentolan palu-arit, Karim DP. Sekjennya, Satyagraha, yang mengaku berpartai gambar banteng ketaton, malah menjadi seperti sapi yang dicucuk hidung untuk bersikap “pejah gesang nderek Bung Karno” dalam rangka membangun anganan kebudayaan nasional yang anti produk budaya Amerika.
8. Mundur kembali ke 1959, pada sebulan setelah pidato “Manipol”, penguasa di Semarang bersama dengan anggota-anggota partai palu-arit berhimpun di Tugu Muda untuk ramai-ramai memecah-mecahkan dan kemudian membakar piringhitam musik-musik rock ‘n’ roll dan cha cha cha antara Elvis Presley, Tommy Sands, Xavier Cugat, Perez Prado. Sebelum itu sebuah film musikal tentang rock ‘n’ roll yang dibintangi oleh Bill Haley & The Comets, dan sedang asyik ditonton penonton di bioskop Royal, Jl Bojong, dihentikan dengan soraksorai kemarahan oleh orang-orang komunis.
9. Kemarahan terhadap film Amerika di kemudian hari akan menjadi suatu kebiasaan yang terlembaga dalam bentuk kepanitiaan-tetap secara organisasi, yaitu PAPFIAS, singkatan dari Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat, diketuai oleh penyair Sitor Situmorang. Karuan semua bioskop di seluruh Indonesia tidak lagi memutar film-film Hollywood tapi menggantinya dengan film-film Italia, India, Cina, Soviet, yang diizinkan Dewan Sensor melalui pertimbangan PAPFIAS. Satu tahun sebelum apa yang disebut sebagai G-30-S, pengusaha bioakop Dewi di Jl Braga, Bandung, mencoba memutar film Amerika dari kelas amatir berjudul “Beau Hank”. Mendadak anggota organisasi-organisasi pemuda komunis antara PR, CGMI, IPPI, numplek di sekitar gedung bioskop lantas mengobrak-abriknya dengan tempiksorak kemarahan memaki-maki Amerika. Saya menulis beritanya dan mengirimkannya ke Koran Minggu di Semarang. Oleh pemimpin redaksinya, Sjamsul Arifien, berita ini dibuat headline dengan judul “Aksi anarkis pemuda komunis di Bandung”. Akibatnya anggota-anggota PR, CGMI. dan IPPI di Semarang datang ramai-ramai pula ke Jl Kepodang mengobrak-abrik kantor redaksi di lantai dua sembari berteriak-teriak marah antara menyalak dan meringkik.
10. Akhirnya kita melihat dan menyimpulkan bahwa “Manipol” itu telah dimanfaatkan pihak komunis, melalui lembaga kebudayaannya, Lekra, untuk menghalalkan cara paling ngawur menyudutkan lawan politik sebagai pihak yang anti revolusi dan malah pro nekolim Amerika. Yang menonjol di situ bukan bekerja mencipta karya kreatif yang memenuhi isyarat objektif estetik dengan jangkauan universal sebagaimana warasnya memposisikan diskursus seni-seni kreatif, tapi justru sibuk melulu mewacana seni-seni rakyat yang progresif revolusioner sebatas poros Pyongyang-Peking-Hanoi-Jakarta. Namun, di luar itu kita ingat bahwa akibat “Manipol” jua maka kaum muda tidak kehilangan cara memainkan irama-irama musik Amerika lewat menguthak-athik gathuk atas lagu-lagu rakyat dari pelbagai daerah yang semuanya bertitilaras diatonis: artinya jelas merupakan hasil akulturasi dengan Barat sejak bangsa Portugis di bawah gubernur Maluku, Antonio Galvao, mendirikan model sekolah pertama gaya Barat di Ambon pada l535. Uthak-athik gathuk ini merupakan janin dari musik hiburan yang dikenal sekatang sebagai “pop Indonesa”.
11. Awal “pop Indonesia” sebagai tindaklanjut para pemuda tarhadap seruan anti Amerika dalam “Manipol” itu, diingat dengan lagu “A sing sing so” dari tanah Batak, dipopulerkan oleh grup Dolok Martimbang. Setelah itu, dari Makassar tampil Lenny Beslar mempopulerkan lagu bahasa Mangkasar “Anging Mamiri”. Dari Banjarmasin tampil Taboneo mempopulerkan lagu bahasa Banjar “Ampar-ampar Pisang”. Dari Magelang tampil Kris Biantoro mempopulerkan lagu bahasa Jawa “Dondong opo salak” (yang mirip lagu “Puff a magic dragon” nyanyian Trini Lopez dan Peter Paul and Mary). Dari Palembang hadir Arulan mempopulerkan lagu bahasa Palembang “Kebile-bile”. Dari Ambon hadir Bob Tutupoly mempopulerkan lagu bahasa Ambon “Sarinande”. Dari Negeri Belanda hadir Anneke Grönloh mempopulerkan lagu bahasa Minahasa “Inani Keke”. Lalu, dari Jakarta hadir Lilis Suryani mempopulerkan lagu bahasa Sunda ”Cai kopi” (yang diprotes di Garut kemudian dilarang karena tuduhan membajak melodi cara menyanyikan ayat suci Al Quran di dalam tradisi Sunda).
12. Pertanyaannya sekarang apakah dengan itu maka gagasan mencari dan menemukan musik nasional anti Barat yang berangkat dari kepribadian bangsa dalam budaya lokal dan berkaitan etnikal telah tercapai? Jawabnya tidak semudah itu. Bagaimanapun juga sebuah karya besar musik ditentukan juga oleh bobot kecendekiaannya seorang pemusik. Sebab, kalau sekadar hanya bicara soal latar etnikal maka komponis Spanyol Isaac Albéniz lewat misalnya karyanya “Rumores de la Caleta” dan komponis Hungaria Béla Bartók lewat misalnya karyanya “Katinka Polka”, memang sudah biasa dikaitkan dengan wacana itu. Dan jangan kiranya dilupa, bahwa kedua komponis yang disebut ini sama-sama genius berdasarkan karya-karya kreatifnya yang karuan universal, menunjukkan harkat kecendekiaannya yang dapat diperiksa pada sisi-sisi ekspositori meliputi analisis gejala sadar dan gejala tak sadar di aras intuitifnya, sekaligus apresiasi yang kritis terhadap substansi bangunan arsitekturalnya nada-irama-harmoni dalam komposisinya.
13. Tapi, memang, kalau kita mengikuti pandangan awam soal ciri-ciri musik Timur dan musik Barat, maka barangkali pengetahuan yang paling sederhana adalah menyimak dan menguping kedudukan titilaras atau skala nada yang populer di dunia Barat dan dunia Timur. Awam menyimpulkan, dengan membaca sejarah gereja, bahwa skala diatonik di Barat merupakan bagian dari piranti liturgi yang terlembaga dalam gereja – gereja dalam pengertian keumatan atau dalam bahasa Yunaninya ‘ekklesia’ dan gereja dalam pengertian kebendaan gedung atau dalam bahasa Yunaninya ‘kyriakon’ – dan ini memang baru dikenal pada perhitungan tarikh Masehi ketika kristianitas berkembang di dunia Hellenisme dalam tataibadah yang mula-mula menyembah banyak dewa Yunani kemudian menyembah satu Allah dalam tiga oknum: Bapa, Putra, Rohkudus.
14. Sementara titilaras pentatonik di dunia Timur, terutama di Cina, yaitu huang-mei-tiau, sudah dikenal sejak 2700 tahun sebelum tarikh Masehi, artinya tiga milenium sebelum ada gereja di dunia Barat. Titilaras huang-mei-tiau ini diadaptasi di Jawa menjadi slendro. Muasalnya, pada zaman Dinasti Tang, datang seorang guru agung Buddha dari Cina bernama di Hwi Ming ke Borobudur, mengajarkan madah-madah bakti Buddha yang bertitilaras huang-mei-tiau kepada Raja Syailendra. Kata slendro itu berasal dari nama sang raja, Syailendra, yang merupakan nama dinasti perdana kerajaan Mataram I. Secara sederhana tapi tidak berarti sepele, nada-nada huang-mei-tiau yang menjadi slendro ini disimpulkan muradif pada standar tala C-D-E-G-A atau do-re-mi-sol-la. Sementara teori diatonik, sejarahnya dimulai di Barat pada abad ke-10 melalui sebuah gereja kecil di Arezza, dicipta oleh seorang rahib Katolik bernama Guido. Nada-nada diatonik ini dibentuk dari puisi doa kepada Tuhan untuk diberi suara yang merdu dalam rangka memuji nama-Nya.
15. Sebelum Guido d’Arezza, nyanyian ibadah gerejawi Barat, yaitu gereja yang berpusat di Vatikan, dan biasa disebut gereja Katolik Roma – beda dengan gereja Timur, yaitu gereja-gereja Ortodoks di Mesir, Yunani, Rusia, dan Siria (yang terakhir disebut ini memiliki cabang di Indonesia, bertempat di halaman rumah bintang film Roy Marten) – adalah ciptaan Gregorius Anicius pada abad ke-7, dan sekarang dikenal sebagai madah Gregorian. Tangganada madah Gregorian ini disebut ‘modus’. Mundur lagi ke belakang, pada abad ke-4, telah tampil Aurelius Ambrosius, mencipta madah yang kini dikenal pada liturgi Katolik sebagai madah Ambrosian, atau secara teknis biasa disebut ‘madah antifonal’, yaitu sebuah metode nyanyian liturgikal berkerangka saling sahut-menyahut.
16. Dalam peta musik-musik agung yang dicipta melalui komposisi tertulis, secara asasi dimulai pada nama besar Giovanni Palestrina. Setelah itu pada zaman berikut, di periode Baroque-Rococo, hadir nama-nama besar yang cempiang di bidang pengetahuan melodi-kontrapuntik, yaitu Johann Sebastian Bach dan George Frideric Handel. Dan maju lagi ke zaman berikut, di periode Klasik,, tampil jagoan crescendo-diminuendo, yaitu Franz Joseph Haydn dan Wolfgang Amadeus Mozart. Setalah zaman Romantik, dengan menyebut nama pendekarnya yang luarbiasa, Ludwig van Beethoven maka peta musik agung dari sejarah kebudayaan yang lahir di kontinen Eropa, terus berlanjut dengan pencarian-pencarian disertai penemuan-penemuan yang menakjubkan sampai akhirnya tiba di zaman kontemporer dari Karlheinz Stockhausen sampai Krzysztof Penderecki.
17. Terusterang, kita mengambilalih pengetahuan musik dari Barat, tapi tidak bisa dikatakan bagian dari musik Barat. Barangkali lebih tepat kita mengatakan, kita hanya jadi peraga dari bagian dasar musik tersebut yang kita peroleh di sepanjang zaman penjajahan Belanda, dari guru-guru yang sekadar mengajar dan bukan termasuk mendidik. Artinya kita lebih kena menjadi tukang ketimbang menjadi cendekiawan. Apalagi, dalam tatanan yang serba instan seperti sekarang di mana kita, dari lingkung urban, merasa lebih senang menjadi tawanan budaya pop – dari model Hollywood ke K-Pop -- menganggap semua yang laku dijual adalah otomatis yang benar.
18. Tampaknya kerancuan ini sebagian diterima salah dari zaman misioner Jesuit di Ambon pada abad ke-l6. Waktu itu Fransiscus Xaverius ke Maluku setelah menerjemahkan empat pustaka gereja ke bahasa Melayu berupa dua nyanyian inti liturgis, masing-masing “Salam Maria” dan “Doa Bapa Kami” disertai “Credo” dan “Dekalog” yang dikerjakannya di Malaka dengan bantuan seorang munsyi. Siapa yang bisa menghafalnya atau menyanyikannya menurut nada-nadanya yang diatonik, lantas dibaptiskan dengan nama Bapa-Putra-Rohkudus. Secara pastoral tindakannya itu boleh dibilang salah, tapi secara kultural usahanya itu harus dilihat sebagai langkah awal akulturasi, yaitu di satu pihak memperkenalkan pengetahuan nada-nada diatonik secara praksis, sekaligus di lain pihak meluaskan bahasa Melayu dari Malaka ke negeri pusat rempah-rempah di Maluku. Kelak, ketika Belanda berhasil mengalahkan Portugis di Nusantara ini, dan mengetahui bahwa orang-orang di Ambon sudah menghafal ayat- ayat bahasa Melayu, maka Belanda pun memutuskan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa administratif dalam pemerintahan kolonialnya.
19. Adalah Belanda yang melanjutkan pengajaran praktis musik diatonik di Indonesia. Termasuk jangan lupa pula, bahwa Belandalah yang mengajar keilmuan bahasa Melayu bagi bangsa Indonesia, mengganti tulisan huruf Arab gundul ke aksara Latin, serta mengerjakan transliterasi sejumlah karya sastra dan mencetaknya sebagai buku di Nederland. Nama-nama penting Belanda sejak abad ke-17 yang berjasa mengatur bahasa Melayu lisan atau bahasa Melayu tulis dengan huruf Latin adalah antaralain Brouwerius, Leijdecker, Van der Tuuk, Klinkert, dst. Ini sekaligus jawaban kepada pihak Malaysia yang kini makin santer menuduh bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Malaysia.
20. Pengajaran musik dengan sistem solmisasi kerangkanya baru benar-benar dilaksanakan oleh Belanda melalui lembaga zending Protestan, yaitu Nederlandsch Zendeling Genootschap, pada abad ke-19 oleh pendeta-pendeta bangsa Jerman beraliran Pietisme, antaralain di Batak ada Nommensen, di Jawa ada Brückner, di Ambon ada Kam, di Minahasa ada Riedel dan Schwarz. Mereka melaksanakan tugas misionernya di bawah visi Martin Luther selaku pencetus Reformasi, tentang kemampuan mendidik umat mengenal isi injil melalui musik yang mudah dipahami dan mudah pula dihafal. Untuk itu Luther sendiri mewariskan contoh-contoh komposisi gerejawi yang dikenal benar oleh pihak Protestan, dan hingga kini terus dinyanyikan umat di kanisah-kanisahnya. Salahsatu yang sangat masyhur adalah “Ein’ feste Burg ist unser Gott” atau terjemahan Inggrisnya “A mighty fortress is our God”.
21. Agaknya pengajaran musik Barat dari sejarah evangelisme di Indonesia abad ke-19 yang paling banyak menghasilkan para cendekiawan bidang ini adalah di tanah Batak. Sejumlah komponis terpandang Indonesia berasal dari sana. Sebut saja secara acak Cornel Simandjuntak, Amir Pasaribu, Liberty Manik, Alfred Sinanjuntak, Nortir Simanungkalit, Marusya Nainggolan, Rizaldi Siagian, Ben Pasaribu, termasuk nama-nama kondang yang sekarang bertaburan di bisnis musik pop, mulai dari Rinto Harahap sampai Tarida Hutauruk. Sementara nama Amir Pasaribu yang mesti dicatat tersendiri di sini, adalah bukan cuma seorang komponis berbobot dengan karya komposisi yang dibya, tapi juga seorang kritikus paling tajam dengan ilmu yang mengalir seperti airterjun, sekaligus tokoh cendekiawan yang merintis model kritisisme dengan panorama pengetahuan budaya yang sangat luas. Karena kecewanya pada pemerintahan Soekarno, ia memilih tinggal di Suriname, dan pulang ke tanahair di usia uzur, lantas diberi penghargaan oleh Akademi Jakarta.
22. Di luar konteks musik yang berbingkai liturgi, tapi kemudian berkembang keluar dari wilayah itu, maka pengajaran musik Barat yang dilakukan Belanda di sini pada masa panjajahannya itu adalah melahirkan pemusik – baik dalam kategori bahasa Belanda “musicus” dan jamaknya “musici” maupun “muzikant” -- untuk sebuah orkes yang disiapkan bagi kepentingan-kepentingan pemerintahan. Warisan paling nyata di kasad ini adalah nama sebuah perkampungan di lingkung kraton Yogyakarta Hadiningrat, yaitu daerah Musikan. Para pemusik yang dibina untuk keperluan pemerintahan itu adalah dengan sendirinya terdiri dari abdi-abdi negara. Dalam perkembangannya, para abdi negara itu adalah bisa tentara dan bisa juga polisi. Salahsatu nama penting dari sejarah musik abdi negara yang berkembang setelah Indonesia merdeka adalah R.A. Sudjasmin. Sebagai perwira tinggi polisi, pada masa apa yang disebut Dwifungsi ABRI, ia ditunjuk menjadi direktur Akademi Musik Indonesia, sekolah tinggi musik pertama di Indonesia yang awalnya digagas oleh Amir Pasaribu.
23. Sampai sejauh ini kita masih bertanya-tanya, sampai di mana jauh pemusik Indonesia – baik yang ada dalam lingkung musik serius maupun yang ada di lingkung musik hiburan – telah mencapai idealitas “musik nasional dengan inklanasi teknis tercerabut dari akar kepribadian bangsa” seperti yang dimaui Bung Karno dalam “Manipol”-nya itu. Sebab, setidaknya dalam berbicara pasal akar budaya sendiri yang bisa kita lihat selama ini adalah perkembangan yang bertolak dari musik Jawa, menyimak titilaras yang berlaku di sini, yaitu pelog dan slendro. Orang Belanda pertama yang membahas secara ahli akan titilaras musik Jawa ini adalah Jaap Kunst, dan setelah itu Brandt-Buys. Tapi, baru pada l960 tampil seorang Jesuit yang juga Belanda, di Semarang, yaitu Van Deinse, yang memadukan pelog dan slendro untuk memainkan karya J.S.Bach. Kepiawaiannya itu membuat Bung Karno selaku Presiden RI menganugrahkannya Bintang Mahaputra baginya.
24. Dalam amatan yang tertib dapat disimpulkan bahwa hampir semua nyanyian anak di Jawa, atau lazimnya disebut “dolanan lare” – tunjuk saja dua: “Lir-ilir” yang konon ciptaan Sunan Kalijaga, dan “Eh dayohe teko”, anonim – adalah berciri slendro. Tapi beda dengan di Jawa, maka nyanyian anak di tatar Sunda, atau kerap disebut “kaulinan budak lembur” malah bertitilaras pelog, contohnya “Dengkleung dengdek”. Secara selintas dapat disimpulkan melalui penyanyiannya, bahwa dalam nyanyian slendro ekspresinya cenderung ceria, sedangkan dalam penyanyian pelog ekspresinya cenderung mendayuh dengan sisipan-sisipan tremolo.
25. Menurut pendapat saya apa yang dimaui Bung Karno dalam “Manipol” itu, memukau dalam orasi politik dan melahirkan beo-beo sangar dengan kebencian yang membabibuta terhadap Barat khususnya Amerika – demikian yang memang menggaung dalam era “demokrasi terpimpin” sepanjang masa Orde Lama sampai berakhirnya pada 1966 -- tapi membingungkan dalam perwujudannya. Saya kira pandangan politik kebudayaan yang paling waras, damai, dan manusiawi adalah gagasan Ki Hajar Dewantara untuk mengambil otak Barat dan melestarikan sukma Timur.
26. Yang kita lihat, banyak di antara kita yang terjepit dan tidak berdaya di tengah-tengah kebingungan memeluk antara prayojana ke Barat atau terbelunggu tak berdaya di Timur. Ketika pemusik dari Barat berhasil menggali unsur budaya Timur dan manjadi pendekar di situ kita terkesima. Sikap budaya seperti ini adalah gumunan. Begitu kita gumun membaca Claude Debussy yang menghayati gamelan Sunda yang dipamerkan di Paris lantas menjadikannya sebagai ilham bagi musik impresionismenya. Begitu pula kita gumun membaca kesungguhan John Cage menggagas apa yang disebutnya sebagai “prepared piano” dari penghayatannya dalam menguping gamelan Bali. Di luar itu, kita pun gumun membaca betapa Benjamin Britten mencipta karya “Pagoda” dari seriusnya mendengar musik Siam. Belum pula nama-nama di ladang pop yang bermain musiknya dengan kepekaan intutifnya pada sukma India, taruh misalnya Richard Clayderman dan John Lennon.
27. Akhirnya toh saya harus menyimpulkan, bahwa bukan tidak mungkin melakukan pertemuan mesra dalam praktik yang saya sebut “kemempelaian budaya” antara musik Barat dengan musik Timur, yaitu berpikir rasional menurut cara Barat tapi menghayat intuisi keindahan dengan potensi rohani yang tulen secara Timur. Barangkali itulah pengetahuan yang semestinya untuk menjadi dasar wawasan musik kontemporer Indonesia. Saya melihat kemampuan itu pada kerja kreatif Franki Raden, doktor musik dari Universitas Madison, melalu “musik dunia” yang dipentaskannya di Bali pada pas kedatangan Presiden AS di sana. Pementasan ini dalam bahasa remajanya boleh dikatakan sebagai gagasan yang gokil. Saya kira di antara banyak komponis muda Indonesia dari latar pendidikan tinggi di awal milenium ketiga ini yang hadir dengan konsep “kemempelain budaya” yang cendekia dan mengagumkan, naga-naganya saya hanya ingin menyebut satu saja nama yaitu Franki Raden.
28. Dengan ini, sekalian saya pun mengajak kita untuk tetap mengingat, bahwa sejarah musik Barat di Indonesia, di luar “kemempelaian budaya” tersebut, antaralain dicatat dengan rasa masygul, yaitu menyangkut tindakan-tindakan kriminal yang memalukan, seputar pencurian haki. Pada peringatan 100 tahun Ismail Marzuki yang diselenggarakan oleh Akademi Jakarta, saya sudah membeberkan lewat makalah saya (yang kemudian dimuat sebagai esai dua halaman di majalah TEMPO), bahwa Ismail Marzuki melakukan plagiarisme dan mengaku-aku karya orang lain sebagai ciptaannya, dan celakanya justru itu mendapat penghargaan dari Presiden RI Soekarno. Karya-karya yang dimaksud itu adalah “Halo-halo Bandung” aslinya ciptaan prajurit Siliwangi bernama Lumban Tobing, “Panon hideung” aslinya merupakan melodi tradisional Rusia yang dicatat hakciptanya pada l926 di Amerika, “Auld lang syne” aslinya merupakan melodi tradisonal Skot yang dicatat hakciptanya oleh Burn pada l799, dan “Als die orchideeën bloeien” ciptaan Belloni pemimpin orkes besar milik PTT di Bandung pada l922.
29. Tapi apa hendak dikata, sejarah musik diatonik di Indonesia, cenderung kita terima sebagai sekadar pakaian, atau sebagai baju, artinya bukan dipandang dan diberlakukan sebagai pengetahuan yang memperkaya tingkat kecendekiaan di satu pihak dan di lain pihak sebagai penimbang harkat kerohanian sebagaimana yang berlaku di Barat dari proses dan progres kebudayaannya. Tampaknya sebagian besar di antara kita lebih suka memandang pengetahuan musik sebagai sesuatu yang jelimet dan karenanya dianggap tidak begitu perlu. Karuan kecendekiaan di dunia musik tidak menonjol dan dengan demikian hanya menernak tukang-tukang – dan seperti yang dikritik oleh Prof Dieter Mack dari Jerman yang mengajar musik di IKIP Bandung – kadarnya sering berujung dengan stetmen-stetmen salahkaprah.
30. Celakanya, di saat seperti itu, kepalang kita diracuni oleh pikiran-pikiran instan, tentang bagaimana mengandalkan bakat alam, tanpa pendidikan yang terarah, membuat seseorang mendapat uang banyak dengan rekaman lagu-lagu pop. Dan, celakanya pula seseorang yang berhasil dikenal publik lewat rekaman musik pop-nya, tiba-tiba merasa diri sebagai tokoh hebat yang bicara jemawa dan bergabu-gabu di TV tapi sebenarnya ngawur, namun tikus-tikus yang menyaksikannya mengelukannya sebagai orang pintar. Kesalahan ini termasuk tanggungjawab pemerintah. Pemerintah tidak cukup cendekia melihat keadaan kebudayaan bangsa, menatanya untuk melahirkan suatu kebudayaan paripurna yang bermanfaat bagi semua bangsa di dunia. Penataan pemerintah terhadap kebudayaan nasional saat ini masih berkesan instan, kelontong, model pasar pagi: yang menjual dan yang membeli sama-sama untung. Demikian saya mendapat kesan dari penataannya di kementerian yang repot-repot memilih nama “industri kreatif”, dan topik ini yang membuat kita duduk di sini untuk menyimak seminar ini.